Astagaaa...!
sulit dipercaya tentang apa yang aku lihat tadi. Benarkah itu semua begitu?
Bayangkan saja, hanya dalam tiga purnama, keputusan itu pun bulat. Karina pun
sejenak meletakkan berhala kecil yang sedari tadi melekat di genggamannya bak
sudah diolesi lem tikus.
Cairan coklat
panas kental menebar aroma nikmat pekat dan memikat berasal dari secangkir
mungil yang terkait di telunjuk kanan Karina yang ia ambil dari pantry
cornernya.
Setelah
menikmati seteguk saja, ia kembali menghampiri pangkuan bangku merah jambu di
teras rumahnya, dan melanjutkan memandangi sebuah gambar yang sedari tadi
sepertinya ia nikmati. Mengherankan! Ia meratapinya atau menikmatinya? Jika
dilihat dari sorot tajam kedua bola matanya, ia seperti sedang terkejut, heran,
atau entah.... namun jika dilihat dari bibir jingga-nya yang sedikit menggoda,
sedari tadi mengatub seolah memercikkan senyum kecil, yang kalau diterjemahkan
seperti “ Ahh... aku lega, akhirnya...!!”.
Ya begitulah,
bunga flamboyan yang dulu ia petik di peraduan senja, yang tak sehelaipun
mahkotanya gugur dan kering. Dulu setiap sore aromanya semerbak sekali dan
mampu menjerat setiap raut wajah dan mengajaknya untuk selalu tersenyum
bahagia. Dan setiap malam pun, setangkai flamboyan menghiasi puisi-puisi yang
Karina baca.
Puisi tentang
sesuatu yang melankoli, seperti matahari yang menyinari bumi, begitu hangat dan
tampak indah. Setiap putiknya mampu membawa lamunan Karina menuju hari esok,
hari esok yang begitu didambakan.
Ya, begitu
terus setiap hari. Hingga pada akhirnya musim berganti, dan flamboyan itu pun
tak lagi bisa bersemi di dunia kecil yang berada di genggaman jemari lentik
Karina, karena tak lagi terasa seperti
tanah yang basah akan air hujan beraroma sedap.
Setangkai
flamboyan yang tak lagi berwujud, namun aromanya tetap ada. Ketika senja
datang, serpihan mahkotanya pun menghujan.
Ah, sudah
ngelantur saja! dari tadi itu kamu mau ngomong apa sih?! Tujuh mahkota
mengelilingi lima putik, terangkai cantik dalam duapuluh tangkai, namun
tergeletak begitu saja di depan pintu rumah Karina di Jalan Flamboyan nomor
duabelas. Dimana secangkir coklat panas? Dimana berhala kecil? Dimana bangku
merah jambu? Teras rumah? Dimana Karina??!
(“Penghujung senandung itu pun
berakhir rancu! namun Hati ini malah bahagia...hahaha...hah! ”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar