Sabtu, 08 Desember 2012

PAGI HARI DI TERAS RUMAH KARINA


           Astagaaa...! sulit dipercaya tentang apa yang aku lihat tadi. Benarkah itu semua begitu? Bayangkan saja, hanya dalam tiga purnama, keputusan itu pun bulat. Karina pun sejenak meletakkan berhala kecil yang sedari tadi melekat di genggamannya bak sudah diolesi lem tikus.
       Cairan coklat panas kental menebar aroma nikmat pekat dan memikat berasal dari secangkir mungil yang terkait di telunjuk kanan Karina yang ia ambil dari pantry cornernya.
       Setelah menikmati seteguk saja, ia kembali menghampiri pangkuan bangku merah jambu di teras rumahnya, dan melanjutkan memandangi sebuah gambar yang sedari tadi sepertinya ia nikmati. Mengherankan! Ia meratapinya atau menikmatinya? Jika dilihat dari sorot tajam kedua bola matanya, ia seperti sedang terkejut, heran, atau entah.... namun jika dilihat dari bibir jingga-nya yang sedikit menggoda, sedari tadi mengatub seolah memercikkan senyum kecil, yang kalau diterjemahkan seperti “ Ahh... aku lega, akhirnya...!!”.
       Ya begitulah, bunga flamboyan yang dulu ia petik di peraduan senja, yang tak sehelaipun mahkotanya gugur dan kering. Dulu setiap sore aromanya semerbak sekali dan mampu menjerat setiap raut wajah dan mengajaknya untuk selalu tersenyum bahagia. Dan setiap malam pun, setangkai flamboyan menghiasi puisi-puisi yang Karina baca.
       Puisi tentang sesuatu yang melankoli, seperti matahari yang menyinari bumi, begitu hangat dan tampak indah. Setiap putiknya mampu membawa lamunan Karina menuju hari esok, hari esok yang begitu didambakan.
       Ya, begitu terus setiap hari. Hingga pada akhirnya musim berganti, dan flamboyan itu pun tak lagi bisa bersemi di dunia kecil yang berada di genggaman jemari lentik Karina, karena  tak lagi terasa seperti tanah yang basah akan air hujan beraroma sedap.
       Setangkai flamboyan yang tak lagi berwujud, namun aromanya tetap ada. Ketika senja datang, serpihan mahkotanya pun menghujan.
       Ah, sudah ngelantur saja! dari tadi itu kamu mau ngomong apa sih?! Tujuh mahkota mengelilingi lima putik, terangkai cantik dalam duapuluh tangkai, namun tergeletak begitu saja di depan pintu rumah Karina di Jalan Flamboyan nomor duabelas. Dimana secangkir coklat panas? Dimana berhala kecil? Dimana bangku merah jambu? Teras rumah? Dimana Karina??!




(“Penghujung senandung itu pun berakhir rancu! namun Hati ini malah bahagia...hahaha...hah! )

C E R I T A S A J A



( Oleh     : Herma Anggraini )
  
Kepada bulir-bulir padi aku berkata, berilah aku …“barang seteguk air saja”…
Kepada pohon yang tampak diam, aku mengajaknya berbicara
Kepada angin, aku punya banyak cerita
dan Kepada kekasihku, gandenglah saja tanganku barang sejenak

Dalam keheningan aku berbicara, dan dalam keramaian aku melamun saja
Aku heran melihat manusia sekarang sudah punya banyak berhala
Embos burung pipit yang lugas terpaksa berubah rupa kambing hitam
Semoga sawah dan pohon tidak lalu menjadi yang berikutnnya
Aaaahhhh…………berisiiiiiiikkk!!!!!!!!!!! Teriakku lantang namun saja lemas!
Semua jadi suka lupa loh!, lupa caranya mengingat saja lupa dengan perilakunya juga
Kok aneh ya? Ah mana aku peduli ! E . . N . . T . . A . . H  pakai LAH atau tidak
Apakah masih ada yang peduli pada sahabatku alam dan piano
Pada bambu dan sudut ?
Pada halaman bertanah gembur dan senandung kereta sore
Pada sumber bunyi yang dipukul bukan di tekan
Pada surat layang berbalut kertas
dan Pada kamu yang sering mengusik aku

Kembali aku menghitung langkahku untuk berjalan pulang,
Hari sudah senja, aku suka, tapi ibu memanggilku
Nak, enyahkan berhalamu itu! lalu ambil dan bacakan C E R I T A  ini  S A J A !!

Bacakan juga kepada ikan-ikan itu, mungkin ia mau barang sejenak mendengar
Jangan lupa sisipkan satu halaman saja untuk kau ceritakan kepada angin
Ceritakan juga kepada pohon, agar dia tidak lalu berdiam saja
Sekarang, rangkailah melodi darinya, lalu senandungkan sambil menari diantara bebuliran padi,
supaya ia mau memberimu, …“barang seteguk air saja”…




(Dikutipdaritubuh yang sedikitlelah, namun Muda dan Bahagia...’11 Mei 2011)

APATIS RIA



          Ungkapan jenuh yang lewat dan mengiang di telingaku .. “ Ah... aku sudah males dengan segala argumenmu! Itu semua argumen sudah kemarin SORE!
          Mari kita ber-apatis ria... Tak usah kita dengarkan teriakkan khafilah yang berlalu begitu saja tanpa sesirat senyum, jangan hiraukan gonggongan anjing itu. Aku ingin buka pintu tapi rasanya ingin menutup. Aku suka udara segar namun lebih baik aku menikmatinya di dalam seruang kecil di serambi otakku. Aku ingin bercerita dan kawanku adalah jendela. Apa yang menggelitik mataku? itu adalah panorama langit senja. Aku suka menyapa namun tak ingin dikenali. Aku berjalan namun tak menapak. Jangan cari aku, karena aku sepertinya bersembunyi. Aku suka berbicara namun tampaknya itu berontak. Jangan pandang wajahku, dibalik cantikku ada hening yang bisu. Aku suka malam namun sahabatku adalah terang. Bunyi diafragmaku diinjak-injak oleh telingaku. Aku suka menghadap ke mana saja selagi ada senja. Wajahku kering namun berminyak. Aku berani di dalam lorong ketakutan. Sakit aku.. namun tak merintih. Aku ingin minum air putih di balik sebuah loker tertutup. Aku ingin berpindah arah. Akan ku sihir kudaku berkaki ganda. Atap yang rapat namun berlobang, membuat aku tampak sesak nafas. Mengapa aku dikejar? sedangkan aku tak sedikitpun lari! Mengapa semua menjawab disaat aku tak bertanya!? Mengapa semua diam ketika aku bertanya!?

Dan aku ingin tersenyum dalam sebuah tanya.


‘Dan aku TETAP Muda dan Bahagia...’

KUMPULAN SAJAK YANG LUPA JALAN PULANG



Laguku untuk Pria kepada Perempuannya

Untukmu juwita kalbu
Di bawah sentuhan senja di ujung cemara
Tatkala hati dirundung duka
Gulungan ombak pun takut akan rembulan
Tiba-tiba ku dapati jejak mungil
Melukisi kepingan pasir
Rona senyum pesona menghias di bibir
Bak mentari mengajak ombak menari
Akhirnya datang juga kau juwita kalbuku
Dan ku panggil kau Perempuanku..


Tarian Sore

Biru nan cerah, hiasi panorama
Sertai langkah menuju sore hariku nan ceria
Bias mentari, pun sisakan hangatnya
Merah merona taman bunga, buat hatiku bahagia
Oh... tak kusangka, sampailah ku di sudut kota
Betapa indah suasana, ku nikmati bersama dia..
Jemari pun menyatu, binar belaimu padaku
Seiring bersama merdu nada suara nyanyian senja
Kau peluk diriku, bias kecup di keningku
Smaradahana melanda, gelak tawa indah purnama
Oh... tak ku sangka, kau jadikanku Ratih Dewimu
Goreskan ikrar janji nan suci yang abadi, selamanya...


Buaian Flamboyan

Biar ku basuh 1000 kali tangan ini
Aromamu tetap ada ...
Aku tidak mengejarmu, namun kamu mencari aku!
Lantas bagaimana bisa aku menghentikan detak nadi harapan?
Meski aku tau, bahwasanya sapaan mu tak ayal serupa desir angin pagi, yang tak lama kemudian juga enyah, entah.


Dalam Bayangan Senja

Senja mulai mendaki ke peraduannya, ntah mengapa aku sangat peka untuk merasakannya. Sore yang cerah ku nikmati dengan senyum ramah hingga kudapati diriku berada di ujung senja, indah, indah, indah sekali. Begitu sempurna dan luar biasa, aku melayang diantaranya. “Senja itu adalah kamu”. Aku benar-brnar mencintai senja, karena hanya di saat senja-lah aku dapat tersenyum, seolah ingin mengadu, meski senja itu hanya sebentar, ia termakan olah siang dan malam, tak ayalnya pagi. Itu artinya, waktuku bertemu denganmu sangatlah singkat. Dan ternyata, langit telah memberi jawaban atas tanyaku yang senantiasa ku tunggu, senjaku kini benar-benar sudah berada di peraduannya. Aku bahagia, karena aku tau kini kamu sudah beradu bersama pagi, pagi yang cantik, pagi yang tampak cerah, pagi yang bukan lagi aku, membuatku membesitkan seutas harap agar sang surya tak letih menorehkan sembiratnya pada sebuah pagi dan senja untuk selamanya. Ratih Dewi dan Arjuna Dewa telah berpisah di peraduannya, tak ada lagi air mata, tak pula juga harap. Ntah bagaimana akhir dari syair laguku, akan masih selalu menjadi tanya, yang mungkin tidak juga butuh jawaban. Aku kembali menatap senja, aku melihat bayanganku disana., karena kini, senja itu bukan lagi “kamu”, melainkan, “aku”. Ya, ‘tiap senja’ itu adalah aku, bukan lagi kamu. Aku cukup lega, karena sekarang aku tidak lagi menunggu, karena langit sudah memberi jawabnya kepadaku, sore tadi.


Tentang Seseorang (dan itu kamu)

Aku tidak tau, mengapa kamu menjadi sesosok yang menarik di mataku?
Dan aku juga belum mengerti, dengan segala kekuranganmu, itu tidak membuat ketertarikanku lalu pudar.
Aku pun sadar, bahwa aku terlalu timpang untuk berdiri di sampingmu.
Kamu tampan, bagiku kamu good-looking, pesona yang kau miliki adalah alami bagiku, dan dengan segala keterbatasanmu, dengan apa adanya, kamu mampu memikat hati kaum hawa “termasuk aku” ...!!


Seperti Hantu Saja

Aku terhimpit dalam nadi ketakutanku sendiri
Aku menjelma menjadi panah, dan aku menusuk ruang pembuluhku
Tolong aku,,, aku terasing !
Aku tak berpijak, aku tak bersandar, melangkah namun tak menapak.
Semakin mengencang pembuluh otakku, nyaris pecah !
Tak sepotong telinga pun mampu mendengar teriakku....
Malam ini aku berteriak !, aku takut dengan aku sendiri
Kosong ...
Sepi ...
Tolong temani aku, dan bawa aku kembali
Aku harus kemana?
Wahai aku, mampukah aku menopangku?


Dinihari

Dingin malam yang menggigit membekukan dinding otakku, pecah,, dan mulai melukai aku.
Ini adalah indikasi sebuah ego yang mulanya tampak arif, namun berakhir tragedi yang menjadikan bumerang yang perlahan menghancurkan urat syaraf akal sehatku.
Aku paranoid, aku masih mendekam dalam gigil, bunyi itu pertanda bahwa aku habis termakan oleh kelenaanku terhadap alas kakiku.
Hendakkah ada yang sanggup menolongku?
Dia baik, namun cacat akan urat maaf..
Aku ramah, namun sedikit serakah..
Urin di tubuhku yang sedari tadi tampak gelisah tak ayal seorang telah menyadarkan aku akan sebuah gejala entah..!
Karena entah adalah berserah, maka entah bukanlah menyerah
Karena entah pergi disaat aku tidur,maka bangun tidur berbasuhlah dia entah !
Entah mengapa aku berharap “pagiku esok baik-baik saja”.
Takkan lagi terlontar “entah”..
Entah sungguh berhala menjelma media menuju nafas yang porak poranda, dalam nyeri.




 ‘Salam Muda dan Bahagia’-karena CINTA

A Poem from My Lecturer 2


one and only

if I could spend a day with you
I’d give you my heart and mind

If I could spend a night with you
I'd give my body and my soul

If I could spend my whole life with you
I'd give you my true love
Which never grows old and tired

For better or worse
For richer or poorer
In sickness and health
Till death do us apart
You’re my one and only

satu dan satu-satunya

andai saya dapat menghabiskan sehari bersamamu
akan ku berikan hati dan pikiranku

andai saya dapat menghabiskan semalam bersamamu
akan ku berikan tubuh dan jiwaku

andai saya dapat menghabiskan seluruh hidupku bersamamu
akan kuberikan cinta sejatiku
yang tak akan pernah layu dan lelah

untuk keadaan lebih baik atau buruk
untuk keadaan lebih kaya atau miskin
dalam nuansa sehat dan sakit
hingga kematian memisahkan kita
kau adalah milikku “satu dan satu-dan satu-satunya”


(Kumpulan Sajak dan Geguritan Handoyo Wibowo)

A Poem from My Lecturer 1


Untitled 1
If you can’t be a pine on the top of the hill,
Be a scrub in the valley—but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can’t be a tree.

If you can’t be a bush, be a bit of the grass,
And some highway some happier make;
If you can’t be a muskie, then just be a bass—
But the liveliest bass in the lake!

We can’t all be captains, we’ve got to be crew,
There’s something for all of us here.
There’s big work to do and there’s lesser to do,
And the task we must do is the near.

If you can’t be a highway, then just be a trail,
If you can’tbe the sun, be a star;
It isn’t by size that you win or you fail—
Be the best of whatever you are!


Untitled 2

Strong people know how to keep their life in order.
Even with the tears in their eyes, they still manage to say “I’m Ok!” with a smile.
I just did, God is good. Change is coming.

God saw your sadness and said,”Hard times are over!”
If you believe in Him, be honest!

(Send this words to a strong person, and to anyone who made you smile ;)


‘Belajarlah menjadi batu yang kokoh terhadap cobaan dan menjadi angin yang lembut dalam menghadapi terik matahari’

SURAT KEPADA GALIH DARI RATNA



        Luka yang perih dan pilu ini menjadi nyaman untuk dinikmati, menjadi lalu adiktif. Karena mungkin hanya dengan cara inilah aku bisa bertemu denganmu lagi meski hanya sejenak dan tak bersuara.
       Kini tak ada lagi kata “kita”. Kini yang ada hanyalah “aku” dan “kamu” dalam kesembunyian yang tanpa pintu. Dan melodi-melodi itulah jembatanku untuk mengantarkan aku kepada ilusiku tentang kamu. Ini benar-benar kusimpan rapat, aku tak berseru pada siapapun. Topengku begitu kuat, dan aku tak peduli! Persetan dengan semuanya! Aku tidak mau tau!
       Sudut-sudut wajahmu begitu jelas, aromamu masih selalu menghantuiku. Entah hikmah apa, aku masih menunggu. Selama ini aku selalu mencoba, namun aku selalu kembali.
       Aku hanya ingin kamu, bukan selebihmu! Kini mataku hanya mampu berkaca ketika aku mengingat senyumku kala itu.

Salam,
Ratna

LENYAP


Cerita tentang seorang anak kecil yang murung
Dia duduk mencari celah diantara pertikaian akar beringin tua sore itu, muram sepi.
Langitpun memandangnya dengan wajah gusar seakan penuh kata-kata

    Hanya desir angin saja yang mungkin masih mau mendengar keluh kesahnya itupun datang membawa busik-busik polusi kota yang sarat akan balutan kemunafikan.
Sepertinya senja yang diharapkan tidak akan datang sore itu, karena kemelut mega yang pucat pasi telah datang meminta belas kasihan.
      Di ujung sana ada sebuah jendela usang yang dulunya megah, namun sampai kapanpun kayu eboni tetaplah akan menjadi kayu eboni.
Duduk di pangkuan jendela, menanti fatamorgana.



“Salam Muda dan Bahagia”

SEKAPUR SIRIH untuk ( Temans ) yang SEDANG LARA ( melankolis )


( Bagian 1 )
Kepada ( ............... ) yang ranum hatinya,
Kehidupan ini belum berakhir,
Beranilah untuk menembus batas ...
Jangan takut akan sendiri, gelap itu pasti datang, karena dia ada untuk melengkapi siang dengan terang yang dimilikinya
Karena kamu punya cahaya, yang juga akan melengkapi perjalananmu dalam melintasi gelap
Maka tetaplah berdiri dan Beranilah untuk “menembus batas
Karena kamu tidak sendiri ...

( Bagian 2 )
Bukankah kamu yang pernah berkata bahwa, hanya sekedar ungkapan rasa cinta dan sayang saja tidak cukup, melainkan “memahami” adalah sebuah rasa dan tindakan yang seyogyanya lebih dulu mampu membungkus keduanya dengan rasa percaya penuh, serta ikhlas. Maka dari situlah manusia dapat mempertanggungjawabkan ikrarnya.


( Bagian 3 )
( ............... ), kamu jangan menangis lagi ya ... sudah terlalu banyak air mata yang kamu keluarkan untuk mempertahankan keterkekanganmu.
Ia tak kunjung belajar untuk memahami kamu, melainkan dia membiasakan agar kamu belajar untuk menjadi seperti apa yang dia inginkan.
Ia tak jua seorang pemaaf. Ia adalah baik dan memberi banyak sekali hal baik kepadamu, hanya saja, ia senantiasa melupakan “satu” hal, yaitu “Kalian tidaklah bernafas dalam Satu Lubang Hidung”

                                                            Ditulis pada hari hujan di malam yang gelap.
Tenangkan dirimu dan jangan lupa obatnya diminum.
  
“Larut Malam yang Dingin”

Catatan kaki : Pada bagian ( ............... ) isilah dengan namamu, atau nama temans mu jika tulisan ini   ingin kau hadiahkan kepadanya. 




BUATLAH DUNIA TERSENYUM !


       Seuntai kata yang begitu saja terlepas dari seorang yang arif, kalimat sederhana ini terinspirasi dari sebuah peristiwa yang boleh dibilang tragis. Cerita tentang dua manusia yang akhirnya bercabang pada potret kehidupan yang ironi. Sebuah martabat yang disetarakan ‘nama baik’ membutakan lantas menjadikannya ‘biadab’. Sebuah kepasrahan yang nyaris berubah menjadi keputusasaan yang membelenggu dan semua itu adalah manifestasi dari ulah para binatang berakal itu!

       Dalam keadaan demikian, tak mustahil terbesit seolah hidup ini sudah berakhir yang menjadikan ‘hidup segan mati tak mau’, semua impian musnah, sebuah harapan telah lari sangat jauh tanpa meninggalkan pesan. Dunia membisu dan air pun memilih bersembunyi di celah pori-pori tanah yang frustasi.

       Namun sekali ‘ber-serah’ dan ketika langit berkata TIDAK! Maka inilah yang disebut dengan awal dari sebuah “harapan”. Tak ada yang tak ber-hikmah. Bila belum ditemukan, setidaknya kita sudah mencari, bila tak terambil, setidaknya kita sudah menaiki bangku untuk meraihnya. Ingat, bahwa kita sudah ‘ber-tanya’! Dan disaat kita terbangun dari buaian tidur siang, bak desir angin yang tak di ketahui kapan akan datang, ‘jawaban’ dari harapan itu sudah berada di bawah bantal. Itulah ke-Besar-an Langit!
       Buatlah setiap orang yang susah menjadi tersenyum dan dunia juga tersenyum karena kita bekerja memakai jiwa! Tajamkan pikiranmu, torehkan penamu, dan kuasai dunia. Salam dan bahagia*.



Sabtu, 14 Januari 2012 pukul 21:40 wib
Dalam kabar bahagia dari ‘Stasiun Mojokerto’

“Salam Muda dan Bahagia”

SALAM MUDA DAN BAHAGIA


Hai, Aku adalah H yang berakhir A, dan aku adalah temanmu.

Temans, ada banyak hal yang sering aku dengar, mulai dari saat aku melangkah pada pagi hingga aku melintasi senja dan lalu, ... pulang.